Surabaya sungguh panas. Bersama Doni, adikku, aku berjalan pelan-pelan, celingukan, lihat sana lihat sini, mengeja satu persatu nama-nama Belanda yang tertera di makam- makam tua di pemakaman Belanda Peneleh Surabaya. Bukannya tanpa tujuan, siang itu aku sengaja mau mencari makam Pater van den Elzen SJ, imam Jesuit yang pernah berkarya di kota Surabaya. Setelah hampir dua setengah jam mencari, legalah hatiku karena makam Pater Elzen berhasil aku temukan.
"Lha ini Pak, makamnya!" kataku setengah berteriak pada Pak Suwari, sang juru kunci makam Peneleh.
"Oooh ... itu kuburan Bapak Pastor. Kalau Bapak dari tadi bilang mau mencari kuburan Bapak Pastor pasti gak sampai dua jam ketemu. Kita juga gak perlu jalan-jalan sampai ke pojok kuburan. Bapak Pastor ini sangat terkenal karena baik hati..."
Memang tidak secara khusus aku datang ke Surabaya hanya untuk mencari makam Pater Elzen. Minggu itu aku menghadiri undang-an seminar ICT for Education di Hotel J.W. Marriot, Surabaya. Di sela-sela seminar aku luangkan waktu untuk mengunjungi makam Belanda di daerah Peneleh, Surabaya untuk mencari makam Pater Elzen. Keinginan itu sebenarnya dipicu oleh buku karangan Rm Tondowidjojo CM, 100 Tahun Paroki Kristus Raja Surabaya. Buku itu menyebutkan bahwa misi pertama Gereja Katolik di Surabaya ada di daerah Kepanjen dan yang bekerja adalah para romo Yesuit. Dijelaskan pula dalam buku itu bahwa salah satu romo Yesuit adalah Pater van den Elzen SJ yang meninggal dan dimakamkan di Peneleh Surabaya ini. Makam Belanda Peneleh Surabaya
Peneleh terletak di bagian utara kota Surabaya, dan termasuk bagian kota lama. Sudah lama aku tahu bahwa ada pemakaman Belanda di Peneleh. Tetapi tidak pernah terlintas pikiran bahwa di pemakaman Belanda itu terdapat makam seorang imam Yesuit. Luas makam Peneleh ini kira-kira 4 kali luas rumah Kolsani. Tidak lagi dipakai untuk pemakaman sejak tahun 1950-an. Pemakaman ini dikhususkan bagi warga Belanda yang tinggal di Surabaya. Dan inilah satu-satunya area pemakaman bagi orang-orang Belanda selain pemakaman "Ereveld" di daerah Kembang Kuning, yang bersebelahan dengan pemakaman Kristen. Perbedaan di antara keduanya terletak pada siapa yang dimakamkan. Peneleh menjadi tempat makam orang-orang biasa warga masyarakat Belanda yang dulu tinggal di kota Surabaya, sedang "Ereveld" adalah pemakam- an bagi korban Perang Dunia II di kota Surabaya. Di area pemakaman Peneleh, selain Pater Elzen, dimakamkan juga Gubernur Hindia Belanda, Residen Belanda di Surabaya, para romo CM, dan suster-suster Ursulin.
Makam Peneleh ini pastilah dulu dirancang dan ditata apik dan rapi. Ada pembatas berupa gang-gang yang cukup lebar. Gang- gang ini membatasi makam kaum elite dan tentara dari masyarakat kalangan biasa. Sayang sekali, sekarang tampak kumuh oleh begitu banyaknya rumah penduduk yang dibangun di dalam kompleks makam. Bahkan rupanya mereka menjadikan Peneleh sebagai tempat tinggal permanen. Lebih kumuh lagi karena bagian kiri makam telah dijadikan pasar untuk masyarakat sekitar situ. Dari salah satu situs (www.eastjava.com) disebutkan bahwa makam Belanda Peneleh tidak akan di- bongkar atau dipindahkan, bahkan akan diperbaiki dan dijadikan monumen hidup serta tempat wisata tempo doeloe.
Pater van den Elzen SJ (1822-1866)
Dari dokumen yang ada, sedikit sekali yang dapat diungkap siapa Pater van den Elzen SJ. Dalam buku Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya karangan John Tondowijoyo CM, nama P J.B. Palinckx SJ,P P. van Santen SJ, dan P F. Fleerakkers mendapat porsi halaman khusus. Tetapi nama Pater Elzen hanya disebut dalam hubungan dengan awal mula Gereja Kelahiran St. Perawan Maria, Kepanjen dan karya para suster Ursulin di Surabaya.
Dituliskan dalam buku tersebut pada 9 Juli 1859 mendarat di Batavia dua Jesuit, yaitu PP Palinckx dan van den Elzen. Oleh Mgr P.M. Vrancken SJ mereka ditugaskan untuk pelayanan rohani umat Katolik di Surabaya. Gedung Gereja Katolik pertama terletak di sudut Roomsche Kerkstraat dan Komedie plein (sekarang di sekitar Jalan Gatotan, Surabaya). Di bawah pelayanan dua pater Jesuit ini Gereja Katolik Surabaya semakin berkembang pesat. Dan untuk itu dibutuhkan sebuah Gereja baru. Dari donatur mereka berdua mendapat uang sejumlah 20.000 gulden untuk membeli tanah di Jalan Tempelstraat (sekarang Jalan Kepanjen) dan mendirikan gedung Gereja baru yang sekarang menjadi Gereja Kelahiran St. Perawan Maria Kepanjen.
Dalam bagian lain Pater van den Elzen SJ juga disebut-sebut sebagai pembuka jalan bagi karya para suster Ursulin di Surabaya. Lewat bantuan Pater Elzen diperoleh sebuah rumah yang dipakai sebagai susteran. Pada 14 Oktober 1863 Pater Elzen pergi ke Dermaga Ujung, Surabaya untuk menyambut kedatangan para suster Ursulin. Pater Palinckx mempersiapkan rumah untuk tempat tinggal para suster tersebut di sekitar Jalan Krembangan Surabaya ini. Akan tetapi para suster Ursulin tidak begitu lama tinggal di rumah tersebut karena Pater Elzen mendengar bahwa Hotel Commerce di Tempelstraat akan dijual oleh pemiliknya. Maka Pater Elzen mengusahakan agar hotel tersebut bisa dipakai oleh para suster untuk sekolah putri. Dengan kerja keras Pater Elzen dan Pater Palinckx terkumpullah uang sejumlah 40.000 gulden untuk membeli hotel tersebut dan mengubahnya menjadi sekolah Ursulin Surabaya. pertama di Surabaya.
Pada bagian akhir tulisan tentang sejarah karya Suster Ursulin di Surabaya disebutkan bahwa pendampingan Pater Elzen tidaklah lama. Sebab pada Juli 1866 Pater Elzen menderita sakit typhus dan meninggal di Surabaya pada usia 44 tahun. Ia di makamkan di Makam Peneleh Surabaya. Pada tahun itu juga Pater Palinckx dipindahkan ke Yogyakarta.
Muncul pertanyaan: adakah sesuatu yang bisa membuktikan keberadaan karya Serikat di Surabaya. Sebab, Pater Elzen pernah bertugas sebagai Pastor Paroki di Gereja Kelahiran St. Perawan Maria bersama Pater Palinckx. Tidak berlebihan rasanya berharap ada jejak-jejak bukti karya Serikat di kota ini. Itulah yang mendorongku pada hari berikutnya meneruskan kunjungan ke Gereja Kelahiran St. Perawan Maria Kepanjen.
Sayang sekali, di dalam Gereja hampir tidak ada apa pun tersisa yang bisa membantu untuk menengarai dan menelusuri jejak- jejak Serikat di Surabaya. Pada Perang Kemerdekaan 1945 Gereja terbakar habis. Tersisa dan dapat diselamatkan umat hanyalah buku baptis, buku nikah, sejumlah kandelier, dan sedikit alat-alat misa.
Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya mencatat: satu tahun setelah kepindahan P. Palinckx (1867) kota Yogyakarta dilanda gempa bumi hebat. P. Palinckx mendapat tanda jasa dari Pemerintah Hindia Belanda karena berbagai keterlibatannya membantu para korban. P. Palinckx meninggal di Jakarta pada 1900.
Dari buku nikah periode 1863-1864 Gereja ini kutemukan tanda tangan Pater Elzen dan Pater Palinckx. Tak diragukan lagi, kedua Pater Jesuit ini adalah pastor paroki Gereja Kepanjen. Buku Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya mencatat sumbangan terbesar P. Elzen adalah pemeliharaan iman umat Katolik di Surabaya. Menarik pula menemukan catatan bahwa pada Minggu, 1 Juli 1923, saat para Pater Jesuit mohon diri dan menyerahkan misi Surabaya kepada tarekat Lazaris, umat Katolik Surabaya mengungkapkan rasa terima kasih kepada Serikat dengan mendirikan dua set patung St. Ignatius dan St. Fransiskus Xaverius. Kedua patung ini diletakkan di pintu masuk Gereja Katedral Surabaya. Satu set lainnya diletakkan di Kepanjen, tetapi ikut hancur terbakar pada 1945 itu. Makam Pater van den Elzen SJ Makam Pater van den Elzen SJ dibangun megah, lebih megah daripada makam lain. Hanya kalah dari makam Gubernur Jenderal Belanda, Residen Surabaya, dan satu pengusaha kaya Belanda yang meninggal di Surabaya. Makam-makam lain lebih kecil; lagipula tempatnya tidak langsung berada di jalan utama masuk pemakaman.
Sebenarnya, tidak terlalu mengherankan bahwa makam Pater Elzen ini megah. Pak Suwari berkisah, Pater Elzen cukup disegani dan dihormati oleh masyarakat Belanda, Indonesia, dan Tionghoa kala itu. Aku tidak tahu kebenaran kisahnya ini.
Nisan dipesan secara khusus di Negeri Belanda; dikerjakan oleh pemahat Kuypen dari batu alam Maastricht. Di atas nisan tergambar Kristus yang bangkit dengan jaya. Di bawahnya dibuat gravir nama, tahun meninggalnya, dan tulisan "Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka" yang merupakan kutipan dari Kitab Wahyu. Pada Juli 1869 nisan ini tiba di Surabaya.
Pak Suwari juga bercerita: waktu ia masih kecil, kakeknya adalah juru kunci makam Belanda ini. Dari kakeknya ini pun terlontar cerita-cerita tentang mbah buyut yang sering menyaksikan Pater Elzen berjalan berkeliling di daerah Kepanjen, tugu pahlawan, Sawah Besar, Peneleh hingga daerah Gereja Kristus Raja saat ini. Ada kalanya Pater Elzen berjalan kaki; tidak jarang pula mengendarai kuda seraya membawa permen atau apa pun untuk dibagi- bagikan kepada anak-anak yang menyambutnya. Banyak orang mengenal Pater Elzen ini sebagai Pastor yang baik hati, suka menolong, dan tidak pandang bulu dalam melayani masyarakat Belanda, pribumi, dan warga Tionghoa di Surabaya kala itu. Dari mulut Pak Suwari terlontar banyak kisah dan cerita, semua tentang Pater Elzen yang begitu dikenal oleh masyarakat Surabaya tempo doeloe. Yang tak kalah menakjubkan demikian menurut Pak Suwari hingga pertengahan 1970-an makam Pater Elzen masih sering dikunjungi oleh Oma dan Opa Belanda.
Sambil menyimak kisah-kisah yang dituturkan Pak Suwari, terbayang olehku peristiwa demi peristiwa dalam hitungan mundur tahun-tahun itu. Katakanlah saat ini usia Pak Suwari 60 tahun. Itu berarti dia lahir pada 1948. Taruh kata, pada 1948 itu usia bapaknya 25 tahun. Maka bapaknya lahir pada 1923. Diandaikan pada usia yang sama kakek Pak Suwari berusia 25 pada 1923 itu, maka kakeknya lahir pada 1898. Bila hal yang sama terjadi pada mbah buyut Pak Suwari, kita bisa menarik ke belakang bahwa pada sekitar 1873 mbah buyutnya lahir. Pater Elzen wafat pada 1866. Rasanya mustahil bahwa mbah buyut-nya masih sempat mengenal Pater Elzen, apalagi mencicipi permen yang dibagi-bagikan Pater Elzen. Tapi, bagiku itu tidak penting. Lebih penting adalah kisah- kisah tentang seorang Pastor yang baik hati masih terekam dalam diri Pak Suwari, kisah-kisah yang didengarnya turun-temurun dari kakek buyutnya. Kisah-kisah ini, seperti di tempat lain, tentulah sudah tersaji dengan tambahan atau pengurangan "bumbu penyedap".
Layaknya seorang tour-leader, Pak Suwari meminta "uang lelah”. Juga harapan. Dia bilang begini, "Pak, kalau Bapak bertemu dengan ahli waris dari Bapak Pastor ini, tolong katakan pada mereka supaya tidak memindahkan kuburan Bapak Pastor ini. Di sebelah sana itu dulu ada juga kuburan beberapa bapak Pastor. Lalu dipindahkan ke Malang. Kuburan Peneleh ini jadi sepi. Semakin sedikit orang berkunjung. Sekarang kuburan ini dipakai paling-paling untuk foto-foto manten... (pre-wedding photo, mungkin maksudnya begitu). Bahkan kalau Bapak mau, setiap tahun saya bersedia mencat dan membersihkan kuburan Bapak Pastor ini. Tentu saja ada ongkos-nya..."
Rupanya Bapak Pastor yang baik hati ini tidak hanya memberikan harapan kepada orang-orang di sekitarnya kala dia masih hidup. Sudah tiada pun dia, Pater Elzen, masih menjadi harapan bagi orang-orang yang hidup di sekitar makamnya.
Tulisan oleh Stephanus Hari Suparwito, SJ, diambil dari Internos Juli – Agustus 2008.
Riwayat Penugasan
Di luar Indonesia | 1859 | |
Pimpinan Misi | Surabaya | 1859-1866 |