Sumarsa, begitu nama kecilnya, dilahirkan di Klaten pada 7 Januari 1922 dari keluarga yang belum katolik. Permandiannya tercatat dalam buku permandian paroki Klaten pada 16 April 1938. Tahun itu juga ia mengakhiri sekolah rendahnya, lalu masuk seminari menengah di Yogyakarta. Tahun 1942 tentara Jepang menduduki Indonesia. Thomas Sumarsa terpaksa pulang dan melanjutkan pendidikannya secara darurat di dalam parokinya sendiri, sambil mencari nafkah sendiri dengan cara menjadi mandor penanam tembakau di salah satu perusahaan di Klaten. Pada tanggal 7 September 1946 ia diterima dalam novisiat, yang pada waktu itu ditempatkan di Muntilan dan kemudian pindah ke Girisonta.
Romo Harsa memiliki perhatian untuk apa saja, prigel, dan suka mengurus sesuatu, dan selalu bersedia untuk menolong. Sebab itu ia mendapat nama julukan “Pa-the”. Dia sungguh-sungguh merupakan bantuan moril bagi kamu yang baru datang di Indonesia dan menolong kami dengan petunjuk-petunjuknya yang selalu jelas dan praktis mengenai bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa yang menarik dan perludiperhatikan. Sifatnya yang paling mencolok ialah ia selalu gembiran dan riang hati, meskipun ia mengalami banyak kesukaran dalam hidupnya.
Ia masuk novisiat dengan umur yang sudah agak tua, karena mengalami gangguan pada waktu belajar di seminari. Walaupun ada rintangan ia berpegang teguh dan tetap setia pada panggilannya. Masa-masa studi filsafat dan teologi tidak mudah baginya, apalagi dengan bakatnya yang berada di praktikal. Perhatiannya terhadap teologi cukup besar. Ia selalu mencoba hal yang baru dan mempercayai kebenaran yang ia temukan. Terhadap teman-teman dari negara asing, ia sangat nasionalis yang sungguh-sungguh dapat diajak bicara secara jujur dan terbuka, dan tidak pernah fanatik.
Beberapa waktu sebelum ditahbiskan menjadi seorang imam (dalam tahun 1958), terpenuhilah salah satu keinginannya yaitu, ibunya dipermandikan dan kemudian dapat mengikuti pentahbisan puteranya sebagai orang katolik. Ia adalah imam yang melakukan segalanya dan tanggung jawab besar dengan apapun yang dilakukannya. Bahkan hingga masa istirahatnya di Girisonta, ia masih dengan semangat membersihkan ruangan-ruangan dengan pel kesayangannya.
Pater Harsa meninggal pada 21 Oktober 1968 dan dimakamkan di Kerkof Muntilan.
Riwayat Penugasan
Paroki Kotabaru | Yogyakarta | 1959-1960 | Paroki Purbayan | Surakarta | 1965-1966 |
Paroki Kebayoran Baru – Blok B | Jakarta | 1966-1967 |
Paroki Katedral | Jakarta | 1967-1968 |