Pada tanggal 5 September 1930, Pater Petrus Hoevenaars, pelopor misi terakhir yang masih hidup di antara orang Jawa, meninggal dunia. Ia lahir di Gilze (N.B.) pada tahun 1860, belajar di Den Haag, Klein-Seminarie di Breda, dan menjadi Jesuit pada tahun 1880. Setelah menyelesaikan pendidikannya ia datang bersama Pater Fr. v. Lith , 4 Oktober 1896 di Jawa. Di Semarang, ia dan P. v. Lith mulai membiasakan diri dengan orang Jawa yang sulit bahasa dan mempelajari moral dan jiwa orang-orang ini untuk dikristenkan. Pada Boxing Day di tahun yang sama mereka sudah melakukan perjalanan dengan Pater Hebrans ke Lamper, 1/2 jam dari Semarang, untuk meresmikan gereja sekolah pertama di sana. Tidak lama kemudian Pastor Hoevenaars berangkat ke Jakarta, di mana seorang katekis telah membuat persiapan pertama untuk memungkinkan karya misionaris, tetapi kesulitan dengan pemerintah yang memaksanya untuk bubar lagi setelah beberapa bulan, tanpa keberhasilan langsung selain kenalan ramah dengan Pangeran Sasraningrat dari keluarga kerajaan Paku-alam, yang nantinya akan mempercayakan anak-anaknya sendiri dan keluarganya ke Misi.
Kembali ke Semarang, Pater Hoevenaars melanjutkan studi bahasanya, mengajar katekismus Jawa pertama dan terus bekerja dengan Pater Hebrans di kalangan orang Jawa. Tahun berikutnya para misionaris Jawa memulai pekerjaan misionaris mereka di pedalaman - jauh dari pengaruh Eropa manapun. Muntilan diduduki oleh Pater v. Lith Moentilan. Pater Hoevenaars menetap dengan Pater Hebrans pada Juli 1899 di Mendoet. Tak lama kemudian rekannya berangkat ke Belanda karena sakit, sehingga Pater Hoevenaars dan Pater v. Lith juga berakhir sendirian. Kekecewaan dan kemunduran tidak terhindarkan dari Misi Jawa Tengah di tahun-tahun ini, bahkan untuk sesaat dianggap serius untuk menyerah. Hanya hasil kecil yang dicapai oleh kedua Misionaris tersebut, tetapi mereka terus bekerja dengan kemauan yang mengagumkan, harapan mereka tertuju pada masa depan. Pada tanggal 5 Oktober 1903, gereja baru diresmikan di Mendoet. Sekolah-sekolah kecil didirikan, yang jumlah siswanya relatif banyak, namun jumlah mualaf tetap kecil. Ketika Pater Hoevenaars ditarik dari misi Jawa pada tahun 1905 dan dipindahkan ke Cirebon, dia meninggalkan penggantinya Pater Joh. Schräder bagi 200 umat Katolik yang baik, hasil kerja keras selama enam tahun.
Masa kedua dari kehidupan misionarisnya dimulai, bakatnya sekarang diminta untuk pekerjaan yang sama sekali berbeda; selain pekerjaannya sebagai pastor paroki dan pegawai Jawa Pos yang didirikan pada tahun 1903, ia sekarang menjadi ayah dari mereka yang terlantar di dunia dan yang ditempatkan sebagai murid di R.K. panti asuhan.
Pada bulan Desember 1906 ia berafiliasi dengan Panti Asuhan di Batavia, dan pada tahun 1910 presiden R.K. Panti Asuhan di Semarang yang saat itu masih memiliki kedua jurusan tersebut yaitu, satu untuk anak laki-laki dan satu untuk anak perempuan di kota bawah. Pada tahun 1911 ia juga menjadi Pastor kepala Semarang, tetapi meskipun tugas berat ini ia tetap menjadi ayah yatim piatu". Pada tahun 1912 ia memulai pembangunan panti asuhan baru yang modern untuk anak laki-laki di Bukit Tjandi, yang bangunan mengesankannya selesai pada tahun 1915. Pada tanggal 26 Mei 1915 ia menyerahkan administrasi paroki kepada orang lain, dan dirinya pindah ke residensi di Tjandi. Untuk 200 anak yatim piatu, yang pengasuhannya telah dipercayakan sejak 1912 kepada Bruder Oudenbosch. Di sini dia bekerja, dihormati dan dicintai oleh anak-anaknya, hingga 10 November 1922. Kemudian dia diangkat menjadi Pastor Kepala di Djocja, tetapi setelah beberapa bulan dia harus pergi ke Belanda untuk memulihkan tenaganya yang kelelahan setelah 27 tahun mengabdi di Hindia Belanda.
Pada bulan Maret 1924 ia memasuki Hindia Belanda untuk kedua kalinya, tinggal di Meester Cornelis sampai Agustus dan kemudian diangkat menjadi pastor kepala di Solo yang sedang bangkit menjadi Katolik, dan dengan demikian kembali ke Indonesia pada akhir hidup misionarisnya, misi Jawa. Di sini dia terlibat dalam aktivitas yang membuat iri, bahkan untuk kaum muda, yang sama sekali tidak mengingatkan pada penurunan daya kerja seorang pria berusia 64 tahun. Selain kehidupan Katolik Roma yang berkembang pesat di kalangan orang Eropa, sebagaimana dibuktikan dengan perhiasan gereja dan berkembangnya asosiasi sosial dan amal, selusin sekolah baru untuk orang Eropa dan Jawa, yang didirikan di bawahnya, adalah bukti paling keras bahwa kedua kelompok populasi tersebut memiliki tempat yang besar di hati misionaris yang terbuka lebar ini. Akhirnya, ternyata tenaga kerjanya tak urung dipindahkan ke lingkungan kerja yang lebih sepi di Semarang dan tak lama kemudian ke Ambarawa yang lebih sejuk, sosok enerjik ini akhirnya tumbang. Sekarat, dia menggerakkan para pengunjung dengan kata-kata terakhirnya: "Doakan saya, banyak berdoa untuk saya, sampai jumpa di sini atau di atas, seperti yang Tuhan kehendaki!"
Peristirahatan abadi menghadiahi kerja kerasnya yang berkorban dan melelahkan bagi Tuhan. MENINGGAL DUNIA.
Riwayat Penugasan
Belajar Bahasa – Pastoran Gedangan | Semarang | 1896-1897 |
Paroki Kidulloji | Yogyakarta | 1897-1898 |
Paroki Gedangan | Semarang | 1898-1899 |
Paroki Mendut | Yogyakarta | 1899-1905 |
Paroki Cirebon | Cirebon | 1905-1906 |
Communicatio (Jawa Pos) | Jakarta | 1906-1910 |
Paroki Gedangan | Semarang | 1910-1914 |
Paroki Karangpanas | Semarang | 1914-1922 |
Paroki Kidulloji | Yogyakarta | 1922-1923 |
Cuti (Istirahat) | Belanda | 1923-1924 |
Paroki Purbayan | Surakarta | 1924-1929 |
Paroki Randusari | Semarang | 1929-1930 |