Pastor Bonnike lahir pada 26 Juli 1845 di Amsterdam. Ia masuk novisiat Serikat Yesus pada 26 September 1866 dan ditahbiskan sebagai imam pada 7 September 1878. Sebagai misionaris, ia menerima tugas ke Hindia Belanda pada tahun 1881, di mana ia mengabdikan diri hingga akhir hidupnya. Ia meninggal dalam badai laut pada 1 Juli 1889 di dekat pantai timur Pulau Flores.
Setelah tiba di Batavia, Pastor Bonnike ditugaskan sebagai Pastor Paroki di Semarang selama lima tahun. Kemudian, ia melanjutkan karya misionarisnya di Maumere hingga tahun 1889. Dalam tiga tahun pelayanannya di Maumere, ia banyak berkontribusi dalam pembangunan. Ia mendirikan gedung sekolah yang luas dan tertata baik, memperluas rumah yang memberi manfaat besar bagi penghuninya, serta melakukan berbagai perbaikan penting. Di Kotting, ia membangun sebuah gereja yang megah beserta rumah pastorannya.
Pada 8 Juni 1889, sebuah kapal penjelajah pemerintah bersenjata tiba di Larantoeka untuk Komandan Sipil. Hal ini berkaitan dengan insiden yang terjadi beberapa bulan sebelumnya, di mana Pastor Bonnike mengusir seorang wanita Muslim yang dianggap mengganggu ketertiban dengan cara yang cukup keras. Menyadari situasi yang mungkin berdampak buruk bagi prestise Belanda, ia memutuskan untuk berkonsultasi dengan Letnan Gubernur Sipil Larantoeka mengenai tindakan yang harus diambil terhadap pejabat bawahan terkait.
Ia kemudian melakukan perjalanan ke Sikka dan mengirim Pastor IJsseldijk sebagai wakil sementara untuk Maumere. Pada 27 Juni, sehari sebelum pesta Hati Kudus Yesus, ia tiba di Sikka bersama Pastor le Cocq d'Armandville. Saat berdiskusi tentang rencana perjalanannya, ia meminta sebuah perahu untuk berlayar ke Larantoeka. Pastor le Cocq menyarankan agar ia menunggu sehari, sehingga dapat menggunakan kapal yang lebih besar. Namun, Pastor Bonnike memilih untuk segera berlayar dengan perahu kecil setelah Misa pada keesokan harinya, dengan harapan bisa kembali ke Maumere dalam delapan hari menggunakan kapal uap dari Larantoeka. Ia ditemani oleh dua pendayung dari Maumere, Paré dan Sidê, serta Reton, seorang anak laki-laki dari Sikka.
Menjelang malam, ketika mereka mendekati Kampung Halie, laut mulai bergelora. Mereka memutuskan untuk menepi, menarik perahu, dan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Pada pagi hari, mereka kembali berlayar, namun semakin siang ombak semakin besar, hingga makanan mereka tertunda karena kondisi yang tidak memungkinkan. Saat matahari mulai terbenam, mereka mendekati mulut selat dan ombak semakin mengguncang kapal, hingga perahu tiba-tiba terbalik. Pastor Bonnike dan para pendayung masih berpegangan pada kapal, tetapi semua barang mereka tenggelam ke dasar laut. Dengan usaha keras, mereka akhirnya berhasil membalikkan perahu dan menempatkan Pastor Bonnike di atas sampan yang hampir dipenuhi air.
Terjebak dalam ombak dan arus yang kuat, mereka menyadari bahaya yang mereka hadapi. Pastor Bonnike memimpin mereka dalam persiapan rohani, meminta mereka untuk memeriksa hati dan bertobat, lalu memberikan absolusi kudus. Ombak terus membawa mereka ke arah pantai, dan pada pagi hari 30 Juni, mereka mendekati pantai Lewoleen di Solor.
Melihat tidak ada kesempatan untuk keluar dari perahu, Pastor Bonnike meminta para pemuda berenang ke daratan untuk mencari heroq (batang pohon berlubang bersayap yang lebih panjang dari sampan) serta membawa air minum. Reton awalnya mencoba sendiri, tetapi akhirnya Paré ikut membantunya. Setelah perjuangan panjang, mereka berhasil mencapai pantai dan meminta bantuan dari penduduk setempat. Namun, ketika mereka kembali ke laut untuk menemukan Pastor Bonnike dan perahunya, semuanya telah hilang tanpa jejak.