Museum opens only by Appointment.

62 024 831 5004

Bruder Joannes Hansates lahir di Amsterdam pada 29 Januari 1862. Sejak usia dini, ia telah menunjukkan kesalehan dan keteguhan karakter yang kelak menjadi ciri khas hidupnya. Sebagai anak kecil, ia menikmati doa dan kesenangan terbesarnya adalah "bermain di gereja."

Namun, sebuah peristiwa nyaris merenggut nyawanya sebelum ia mencapai usia tujuh tahun. Saat bermain dengan teman-temannya di Prinsengracht, ia jatuh ke sungai dan terseret ke bawah limbah air tekstil milik perusahaan Knottenbelt. Selama 10 hingga 15 menit, upaya pencarian dilakukan, bahkan seorang pria nekat menyelam beberapa kali, tetapi tidak berhasil menemukannya. Sementara itu, ibu, nenek, dan orang-orang di rumah dengan penuh harapan berdoa di depan patung Santa Perawan. Setelah seperempat jam berlalu, akhirnya tubuhnya ditemukan dan ditarik keluar dari air, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Seorang tabib yang segera dipanggil melihat bahwa masih ada harapan. Dengan penuh kehati-hatian, ia melakukan segala upaya untuk menyelamatkan Joannes dan membawanya pulang ke rumah orang tuanya. Meskipun tubuhnya mengalami kelemahan total dan penyakit berkepanjangan akibat terpapar air yang tercemar pewarna, perhatian dan kepedulian dari orang tuanya serta perawatan medis akhirnya membantunya pulih sepenuhnya.

Di sekolah dan dalam pelajaran katekismus, ia selalu menjadi yang terdepan. Ia belajar dengan giat dan mudah memahami pelajaran, hingga saat lulus ia menerima penghargaan tertinggi—sebuah jam tangan bertulisan khusus. Kepala sekolah St. Vincent di Nieuwe Leliestraat bahkan menawarkan untuk melatihnya sebagai guru tanpa biaya. Namun, ia memilih jalan lain, menjadi tukang kayu. “Kerajinan ini juga telah dilakukan oleh Juruselamat Ilahi dan Santo Yosef,” katanya.

Seperti di sekolah, ia menunjukkan kemajuan pesat dalam bidang yang dipilihnya. Demi meningkatkan pengetahuannya secara teoritis, ia mengambil kelas malam dalam teknik arsitektur, berusaha menjadi ahli dalam bidangnya. Dalam pekerjaannya, ia sering berinteraksi dengan berbagai tipe pekerja, termasuk mereka yang memiliki moral yang kurang baik. Namun, ia selalu menjaga dirinya dari pengaruh buruk dan tetap berpegang teguh pada prinsip religius serta perilaku baik dalam segala situasi.

Pada usia 16 tahun, Bruder Joannes Hansates bergabung dengan Kongregasi Santa Perawan di Gereja Penabur, tempat ia menjadi teladan bagi banyak orang. Namun, pada Mei 1882, ia menjalani wajib militer dan ditugaskan ke zeemilitie di Nieuwediep. Saat musim panas tahun itu, kapal perang de Adder mengalami perjalanan tragis dari Nieuwediep ke Hellevoetsluis. Bruder Joannes awalnya dijadwalkan untuk ikut serta dalam perjalanan itu bersama banyak milisi lainnya, tetapi keputusan lain dibuat sebelum keberangkatan. Jika keputusan tersebut tidak berubah, ia mungkin akan ikut tenggelam bersama kapal dan kehilangan nyawanya, seperti semua orang di dalamnya.

Pada Oktober, masa tugasnya berakhir, dan ia kembali ke rumah. Tidak lama setelah itu, ia mulai merasakan panggilan untuk menjalani hidup religius. Awalnya, ia berniat bergabung dengan Kongregasi Frater di Belgia dan pergi ke sana bersama seorang teman yang akhirnya masuk ke kongregasi tersebut. Namun, setelah melihat lebih dekat, ia merasa bahwa Allah tidak memanggilnya ke tempat itu. Dengan penuh pertimbangan, ia mulai mempertimbangkan untuk bergabung dengan Serikat Yesus. Setelah berulang kali berdoa dan berkonsultasi dengan bapa pengakuannya, ia semakin yakin bahwa panggilan ini berasal dari Tuhan. Maka, pada 3 Januari 1883—hampir tiga bulan setelah menyelesaikan masa wajib militernya dan kembali ke rumah orang tuanya—ia memulai perjalanan menuju novisiat di Mariëndaal bersama sahabatnya yang tak terpisahkan, Bruder Been. Ayahnya turut mendampingi, sebuah tanda pengorbanan besar karena Bruder Joannes adalah anak tertua dari dua belas bersaudara.

Setelah satu tahun di Mariëndaal, ia dikirim ke Oudenbosch, dan setelah dua tahun masa novisiatnya berakhir, ia mengambil kaul pada 6 Januari 1885, mengikat dirinya selamanya kepada Yesus. Tidak lama setelah itu, ia terpilih oleh para Superior untuk menjalankan misi di Hindia Belanda. Bersama Pastor Henricus Jansen, Pastor de Knijper, Pastor Voogel, Br. Klamer, dan Br. Been, ia berangkat dengan tujuan yang sama, menjadikan mereka enam orang dalam kelompok tersebut, lima di antaranya berasal dari Belanda.

Pada September 1886, keenam misionaris ini menaiki kapal Ratu Emma dari Amsterdam dan tiba di Batavia pada 14 Oktober 1886 setelah perjalanan yang sukses. Di Batavia, Bruder Joannes mengetahui penugasannya. Setelah beberapa hari tinggal di kota itu, ia dan Bruder Been kembali naik kapal menuju Atapoepoe di Pulau Timor, dan mereka menginjakkan kaki di sana pada 1 November.

Misi di Timor sendiri telah dimulai sejak 1 Agustus 1883. Gereja dan sekolah masih berada dalam bangunan sederhana dan primitif, sementara dapur, gudang, kandang kuda, dan fasilitas lainnya terbuat dari bahan lokal yang tidak tahan lama. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama dalam bidang pertukangan—sesuatu yang menjadi keahlian Bruder Joannes. Tugas pertamanya adalah membuat altar kayu dan alas untuk patung orang suci, lalu berlanjut dengan membangun sekolah dan gereja. Ia bekerja tanpa lelah dari pagi hingga sore, sering kali harus menangani tugas yang paling berat sendiri karena di Atapoepoe tidak ada pekerja yang memiliki keterampilan pertukangan.

Kayu untuk pembangunan diperoleh dari hutan, di mana para penduduk membawa batang kayu dan menyimpannya di halaman pastoran. Bruder Joannes sendiri harus menggergaji kayu-kayu itu menjadi papan menggunakan gergaji tarik panjang, sebuah pekerjaan yang memakan waktu berminggu-minggu dan sangat melelahkan. Bagi orang Eropa di Hindia, tugas ini hampir mustahil dilakukan. Tidak mengherankan, pada April ia mulai mengalami demam berkepanjangan akibat kelelahan fisik yang ekstrem. Saat kedinginan, ia berjalan mondar-mandir di bawah sinar matahari untuk menghangatkan tubuhnya. Namun, semakin lama demamnya semakin parah. Pada Mei, kondisi kesehatannya melemah drastis, nyaris tak mampu bertahan. Meski begitu, begitu kesehatannya sedikit membaik, ia segera kembali bekerja, menunjukkan ketekunan dan dedikasi yang luar biasa.

Setelah semua persiapan selesai, Bruder Hansates menghadapi tugas baru yang menunggunya. Keinginan baik dari Pastor Jansen akhirnya bisa terwujud, dan pemukiman baru di pegunungan Lahoeroes, wilayah Fialaran, dapat segera dimulai. Maka, pada bulan Juni, Bruder Hansates berangkat menuju area misi yang baru.

Setibanya di Lahoeroes, perhatian utama adalah memperoleh kayu untuk membangun rumah baru. Sehari setelah kedatangan, mereka mengunjungi Tetor Seran tua—sosok yang dapat dianggap sebagai bupati karena bertanggung jawab atas wilayah tersebut, bisa juga disebut sebagai Raja kecil. Langkah ini menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan pembangunan dan kehidupan di misi baru tersebut.

Pada 1 Desember 1892, misi menerima sepuluh murid pertama, termasuk seorang raja kecil yang kelak akan menjadi penguasa Kerajaan Fialaran. Pengajaran bagi para pemuda ini dipercayakan kepada Bruder Hansates oleh Pastor Jansen. Dengan semangat dan pengabdian yang besar, ia menerima tugas ini, meskipun sebelumnya ia belum memiliki pengalaman dalam bidang pendidikan. Tantangan pun tidak kecil, sebab pemuda-pemuda Timor tidak memiliki antusiasme besar terhadap pendidikan. Seran tua telah menetapkan bahwa sepuluh anak laki-laki ini harus bersekolah agar mengenal dasar-dasar baca-tulis—suka atau tidak.

Tugas ini tidak selalu mudah atau menyenangkan, tetapi Bruder Hansates tetap menjalankannya dengan penuh ketaatan, disiplin, dan ketekunan. Ia selalu hadir di sekolah pada waktu yang telah ditentukan dan bahkan meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan anak-anak di luar jam belajar. Pada malam hari, saat mereka bermain, ia memperkenalkan beberapa permainan tradisional Belanda seperti papan angsa dan catur. Sebagai bentuk penghargaan, pemenang diizinkan mengambil gambar atau perhiasan dari koleksi Bruder, selama persediaan masih tersedia. Cara ini berhasil menarik perhatian mereka dan menciptakan kedekatan antara Bruder dan murid-muridnya.

Setiap hari Minggu setelah Misa, anak-anak diizinkan pulang, dan Bruder pun menjalani peran lain sebagai dokter serta ahli bedah bagi penduduk setempat. Uniknya, masyarakat Timor memiliki kebiasaan bahwa jika satu orang mendapat pengobatan, yang lain juga ingin mendapatkan hal yang sama, terlepas dari apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau tidak. Untuk mengatasi hal ini, Bruder menyediakan botol berisi air biasa yang diberi warna sederhana, agar bisa diberikan kepada mereka yang datang meminta pengobatan meskipun tidak membutuhkannya.

Namun, pada Maret 1893, Bruder Hansates dipanggil kembali ke Atapoepoe oleh Pastor Jansen dan posisinya sebagai kepala sekolah di Lahoeroes digantikan oleh Bruder Verster. Kemudian, pada akhir 1895, Pemimpin Misi memutuskan untuk memindahkannya ke Misi Maumeri di Pulau Flores. Tak lama berselang, Pastor Jansen juga dipindahkan ke Larantoeka, mengubah struktur tim yang sebelumnya telah terbentuk dengan erat.

Di Flores, Bruder Hansates kembali menunjukkan dedikasi besar dengan membangun gereja dan gedung misi di berbagai tempat, sebagaimana yang telah ia lakukan di Timor. Namun, pekerjaan berat ini—terutama di kota-kota pesisir yang panas seperti Atapoepoe, Maumere, dan Larantoeka—perlahan-lahan merusak kesehatannya yang semula begitu kuat. Kali ini, ia tidak hanya mengalami demam sesaat seperti sebelumnya, tetapi kondisi tubuhnya mulai memburuk secara permanen.

Karena tidak ada dokter di Larantoeka, Pastor Hoeberechts memutuskan untuk mengirim Bruder ke Jawa agar ia mendapatkan perawatan medis. Namun, tinggal di Jawa tidak memberikan hasil yang diharapkan, sehingga Pemimpin Misi akhirnya memutuskan untuk mengirim Bruder ke Belanda agar ia dapat memulihkan kesehatannya. Pada 23 Maret 1912, Bruder Hansates berangkat dari Batavia bersama Pastor Leemker dan IJsseldijk dengan kapal Wüis. Ia tiba di Amsterdam pada 27 April 1912 dan menikmati waktu istirahat selama setahun, di mana ia bersukacita dapat bertemu kembali dengan banyak anggota keluarganya. Salah satu momen yang paling berarti baginya adalah kesempatan untuk hadir dalam saat-saat terakhir kehidupan ibunya yang saleh, memberikan penghormatan terakhir bagi wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih.

Setelah tinggal di Belanda selama satu tahun, Bruder Hansates merasa kesehatannya cukup membaik. Dengan penuh keberanian, ia berangkat kembali ke Hindia Belanda pada 29 Mei 1913 dari Marseille, bersama Pastor IJsseldijk. Pada 22 Juni 1913, kapal mereka tiba di Batavia, sebelum melanjutkan perjalanan ke Djokja, di mana mereka menghabiskan waktu di pastoran yang hangat dan ramah. Setelah menunggu beberapa minggu untuk kesempatan perjalanan, Bruder akhirnya menuju Surabaya dan tiba di Larantoeka pada 19 Juli 1913.

Kepulangannya membawa sukacita besar bagi Pastor Hoeberechts dan para misionaris lainnya, begitu pula bagi para tukang kayu muda dari sekolah kerajinan. Mereka gembira menyambut kembali pemimpin yang begitu mereka hormati dan sayangi.

Tanpa menunda, Bruder Hansates kembali bekerja, mengejar tugas yang sempat tertunda selama ia berada di Belanda. Dengan semangat baru, ia menjalankan pekerjaannya dan tampaknya telah sepenuhnya pulih. Kedatangannya di Larantoeka pada bulan Juli, saat cuaca paling sejuk dalam setahun, membantunya beradaptasi kembali dengan lingkungan yang berbeda dari Belanda. Ia bekerja dengan penuh keceriaan, menghabiskan hari-harinya bersama para tukang kayu.

Namun, seiring berjalannya waktu, suhu yang semakin panas mulai mengganggu kesehatannya. Warna segar yang ia peroleh selama di Belanda perlahan memudar, tubuhnya semakin lemah, dan kerja keras yang dulu mampu ia lakukan menjadi semakin sulit. Meski ia berharap hujan akan membawa kesejukan dan pemulihan, langit tetap tak berubah, tanpa tanda-tanda penyegaran yang dinantikannya.

Pada Minggu pagi, 23 November, saat mengucapkan syukur setelah Komuni Kudus, Bruder mengalami kejadian yang mengkhawatirkan—ia hampir pingsan. Saat berlutut di kursi doanya, tubuhnya melemah seketika, tetapi ia masih berhasil mempertahankan keseimbangannya dengan berpegangan pada kursi. Ketika ia memberi tahu Pastor Hoeberechts tentang kejadian ini, Pastor menyarankannya untuk beristirahat sebanyak mungkin.

Hari itu, Bruder masih berusaha menjalankan tugasnya, tetapi ternyata itu menjadi hari terakhirnya dalam aktivitasnya yang biasa. Ia kemudian berdiam di kamar perawatannya, hingga akhirnya ia dipanggil Tuhan pada 26 November 1913, meninggalkan kenangan tentang seorang Bruder yang begitu berdedikasi dan penuh pengabdian.