Museum opens only by Appointment.

62 024 831 5004

Pastor Joannes de Nateris lahir di Amsterdam pada 5 Juli 1875. Ia menempuh pendidikan seminari di Kolese Aloysius, Sittard, dan Seminari Uskup Agung, Kuilenburg. Pada 26 September 1895, ia memasuki Mariëndaal, tempat pertama kali ia merasakan ketenangan spiritual di tengah padang rumput tandus. Di sana, ia semakin memperdalam dua kebajikan yang sudah melekat dalam dirinya—kesederhanaan dan semangat jiwa—yang kelak menjadi kekuatan dalam pelayanannya di Larantoeka. Filsafat dan teologi dipelajarinya di Oudenbosch dan Maastricht, hingga akhirnya, pada 26 Agustus 1904, ia mencapai puncak impian—ditahbiskan sebagai Imam.

Pada Juni 1906, ia berangkat bersama Pastor Ant. Fisscher menuju Hindia Belanda, lalu tiba di Larantoeka pada 16 Juli 1906. Dengan penuh kesederhanaan dan semangat yang teguh, ia mulai melayani di tengah komunitas baru yang penuh tantangan. Tahun pertamanya di Larantoeka tidaklah mudah; keterbatasan bahasa, budaya, serta kompleksitas pekerjaan menjadi kendala besar. Namun, daya ingat yang tajam, kemampuan berbicaranya, serta perannya sebagai Prokurator Misi Larantoeka membantu mempercepat adaptasinya. Tidak butuh waktu lama sebelum ia akhirnya mengambil alih pekerjaan misionaris di Kampong Tengah, Woereh, dan daerah lainnya dari Pastor van der Heijden, yang harus meninggalkan tugasnya demi pemulihan kesehatan di Jawa.

Wilayah yang diberikan kepadanya adalah sudut termiskin dan paling sulit di Misi Larantoeka. Penduduknya sederhana dan penuh tantangan, medannya sulit, dan tugas yang dihadapinya berat. Selama delapan tahun ia mencurahkan tenaga untuk merawat jiwa-jiwa di sana, menghadapi bahaya di darat dan laut, mengalami berbagai kemunduran, konflik, kelelahan, serta penyakit. Meski begitu, segala pengorbanannya tidak sia-sia. Di pegunungan, ia berhasil menuntun banyak jiwa muda menuju keselamatan kekal. Saat kembali ke Kampong Tengah, ia mendapati lebih dari 100 anak setiap hari datang untuk menerima Komuni Kudus—suatu penghiburan luar biasa bagi hati seorang Imam.

Selama masa pelayanannya, penyakit mulai muncul sebagai ancaman serius terhadap kesehatannya. Kedatangan dokter militer di Ende atau komunikasi melalui telepon sering kali menyelamatkannya dari kondisi yang lebih buruk. Namun, pada 10 Desember 1915, Pastor de Nateris kembali merasa tidak sehat. Awalnya, ia menganggapnya sebagai gejala biasa seperti sebelumnya, tetapi akhirnya ia memutuskan kembali ke Kampong Tengah. Pada 13 Desember, ia merasa pulih dan ingin kembali bertugas, namun atasannya menyarankan agar ia menunggu sampai benar-benar stabil. Namun, keesokan harinya, serangan penyakit datang dengan kekuatan penuh, memaksanya untuk beristirahat di tempat tidur, tak lagi mampu bangkit.

Ia terbaring dalam kesakitan yang luar biasa, sementara dokter di Ende kembali dipanggil. Rencana segera dibuat agar ia dapat diangkut ke Surabaya untuk operasi, tetapi kondisinya memburuk begitu cepat hingga rencana itu tidak sempat terlaksana. Pada sore hari, keadaan semakin kritis, sehingga disarankan agar ia menerima Sakramen Kudus terakhirnya. Dengan ketenangan dan kesalehan yang luar biasa, ia menerima Sakramen tersebut di hadapan para pejabat gereja. Pastor Joannes de Nateris akhirnya berpulang pada 22 Desember 1915, meninggalkan warisan pengabdian dan kesetiaan yang tiada banding.