Museum opens only by Appointment.

62 024 831 5004

Bruder Henricus Adan,

Pada 11 Januari 1913, Bruder Henricus Adan, yang telah bekerja terus menerus di Larantoeka selama 28 tahun, meninggal dunia.

Henricus Adan lahir di Oudenbosch pada tanggal 2 Mei 1854 dari orang tua yang sangat baik. Berbakat dengan kualitas yang sangat beruntung, karena ada pegangan yang kuat, pikiran yang baik, ingatan yang kuat, ia menghabiskan masa mudanya dalam kepolosan hati, dalam sukacita pikiran melayani Tuhan sejak masa mudanya.

Saat Rikus—begitu ia biasa dipanggil di rumah—menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, tampaknya ia akan mengikuti jejak ayahnya dalam bidang keahlian yang telah ditekuni keluarga. Ayahnya dikenal sebagai kusir yang handal dan memiliki usaha yang cukup terkenal, di mana gerobak-gerobak yang kokoh dapat memberikan layanan terbaik bagi para pelanggan.

Namun, kehidupannya berubah drastis ketika ayahnya meninggal. Rikus pun harus mengambil tanggung jawab besar: mengurus ibu dan saudara perempuannya. Dengan penuh pengabdian, ia berusaha keras untuk memastikan keluarganya tetap dapat menjalani kehidupan yang layak. Meskipun begitu, ia menyadari bahwa hidup di bawah naungan orang tuanya tidak sepenuhnya memenuhi apa yang dicari hatinya.

Di dalam dirinya tumbuh cita-cita yang semakin jelas—menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan dan mengabdi dalam kehidupan religius. Awalnya, ia merasa impian itu terlalu jauh untuk diraih, namun seiring waktu, keinginan tersebut semakin kuat dan mulai menemukan bentuk yang nyata. Pada akhirnya, jalan yang ia dambakan pun terbuka lebar, memberi harapan bahwa segala usaha dan doa yang ia lakukan tidaklah sia-sia.

Sementara itu, mantan teman sekolahnya, Pastor Henricus Looijmans, telah menyelesaikan studi Latinnya di Seminari kecil Oudenbosch dan bergabung dengan Serikat Yesus di Mariëndaal. Kesempatan ini memungkinkan Rikus untuk beberapa kali mengunjungi teman lamanya di sana. Dalam kunjungan-kunjungan tersebut, ia semakin mengenal kehidupan di dalam Serikat dan mulai memahami bahwa keinginannya untuk mengabdikan diri kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang mustahil.

Namun, tanggung jawabnya terhadap ibu dan saudara perempuannya tetap menjadi pertimbangan yang berat. Meskipun di dalam hatinya ia merasa panggilannya semakin jelas, ia tetap terikat oleh kewajiban keluarga. Bertekad untuk menemukan solusi, ia berusaha mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk melanjutkan usaha keluarganya. Ketika akhirnya ia berhasil menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada orang yang dapat diandalkan, tidak ada lagi yang menghalangi dirinya untuk mengikuti panggilan Tuhan.

Meski demikian, tidak semua orang mendukung keputusannya. Beberapa pihak menganggap bahwa sebagai pencari nafkah utama bagi ibu dan saudara perempuannya, ia justru memilih kehidupan yang lebih mudah bagi dirinya sendiri. Mereka merasa bahwa meninggalkan keluarganya bertentangan dengan kewajiban kasih yang seharusnya ia berikan kepada mereka. Menurut mereka, jika ia tetap bersama keluarganya, ia masih bisa menjalani kehidupan yang saleh tanpa harus menyerahkan mereka kepada orang lain. Mereka meragukan apakah ini benar-benar panggilan sejati dari Tuhan.

Namun, Rikus tetap teguh pada keyakinannya. Keputusan ini tidak dibuat dengan tergesa-gesa, melainkan melalui pertimbangan matang dan konsultasi dengan pembimbing rohaninya. Dengan segala pengorbanan yang harus ia lakukan, ia mengucapkan selamat tinggal kepada ibu dan saudara perempuannya dengan penuh kelembutan. Dengan hati yang ikhlas, ia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan, yakin bahwa inilah jalan yang telah ditentukan baginya.

Pada tanggal 1 Januari 1883, di usia hampir 29 tahun, ia memasuki novisiat Serikat Yesus di Mariëndaal dengan tekad untuk mengabdi sebagai bruder awam Tuhan dalam kesederhanaan dan ketulusan. Sejak awal, ia menunjukkan dedikasi yang luar biasa, membentuk dirinya sesuai dengan teladan Santo Alfonsus Rodriguez, seorang Bruder suci dalam Kristus.

Kesalehan dan ketekunannya tidak luput dari perhatian superiornya. Bahkan sebelum menyelesaikan masa novisiat, mereka telah menilai bahwa ia layak untuk diutus sebagai misionaris ke Hindia Belanda. Bersama Pastor Petrus Diederen, Joannes Kusters, dan Hermanus Leemker, ia melakukan perjalanan besar menuju Hindia Belanda dan akhirnya tiba di Batavia pada 21 Desember 1884.

Setelah tinggal sementara di Jawa, perjalanannya berlanjut. Tak lama, ia ditugaskan ke misi Larantoeka di Pulau Flores. Di sana, pada 28 Januari 1885, ia disambut dengan hangat oleh Pastor ten Brink dan rekan-rekan kerja lainnya. Dengan penuh semangat, ia mulai melatih para pemuda yang telah menyelesaikan sekolah tetapi masih tinggal di rumah misi. Ia tidak hanya membimbing mereka menjadi pekerja yang terampil, tetapi juga memberikan pendidikan agama melalui kata-kata dan teladan hidupnya.

Bruder Adan tidak hanya berperan sebagai pengajar musik bagi para pemuda, tetapi juga sebagai sosok yang membimbing mereka memahami prinsip-prinsip dasar harmoni. Dengan dedikasi tinggi, ia menjadi anggota aktif dalam marching band, memainkan alat musik dengan penuh semangat.

Selain itu, Bruder Adan juga selalu sibuk mengurus berbagai keperluan pertukangan kayu yang dibutuhkan di Larantoeka. Ia bekerja tanpa henti untuk memastikan tersedianya fasilitas penting, seperti perlengkapan gereja, tempat tinggal bagi para misionaris, serta berbagai perlengkapan lain yang mendukung kehidupan dan pelayanan di misi. Tidak hanya membangun, ia juga turut bertanggung jawab atas pemeliharaan gedung-gedung misi, memastikan semuanya tetap kokoh dan berfungsi dengan baik.

Selama lebih dari sepuluh tahun, Bruder Adan dengan penuh dedikasi telah mengabdikan dirinya pada pelatihan para pekerja. Namun, pada Juni 1896, ia menerima tanggung jawab baru—mengurus anak-anak asrama. Sebelumnya, tugas ini diemban oleh Bruder Van den Biggelaar, tetapi karena kondisi kesehatannya, ia harus pindah ke Surabaya.

Kini, dengan sepenuh hati, Bruder Adan mengabdikan dirinya pada peran barunya. Ia berusaha menanamkan nilai-nilai agama dalam diri kaum muda, membimbing mereka tidak hanya dalam pendidikan tetapi juga dalam pembentukan karakter dan spiritualitas. Baginya, tugas ini bukan sekadar perubahan peran, tetapi sebuah panggilan yang semakin memperkuat komitmennya dalam melayani Tuhan dan sesama.

Dalam beberapa tahun terakhir, kesehatannya mulai menurun, dan ia tidak lagi sekuat di masa mudanya. Pada akhir tahun 1908, ia mengalami sakit yang semakin parah dalam waktu singkat. Karena pengobatan biasa tidak memberikan perbaikan yang signifikan, akhirnya diputuskan bahwa ia harus pergi ke Surabaya untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih intensif.

Di sana, dokter mendiagnosisnya dengan diabetes yang cukup serius. Meski demikian, ia kembali ke Larantoeka lebih cepat dari yang diharapkan. Dengan mengikuti aturan hidup yang telah ditentukan, ia berhasil melanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Namun, pada awal tahun 1912, kondisinya kembali memburuk, sehingga ia kembali membutuhkan perawatan medis.

Setelah menghabiskan beberapa waktu di Jawa, menikmati iklim yang lebih sejuk, ia merasa kesehatannya mulai membaik. Ia pun mengajukan permohonan kepada atasannya untuk kembali ke Larantoeka, terutama karena ia merasa keberadaannya sangat dibutuhkan di misi yang begitu ia cintai.

Pada November, kondisi Bruder semakin memburuk. Ada rencana untuk membawanya kembali ke Jawa agar mendapatkan perawatan yang lebih baik, namun harapan bahwa musim angin Barat yang akan berlalu bisa membawa perbaikan kesehatan, ditambah dengan keinginannya sendiri untuk tetap tinggal, menyebabkan keputusan itu ditunda. Seolah-olah Tuhan telah mengabulkan keinginan terakhirnya.

Pada hari raya Epifani, Bruder harus pindah ke kamar khusus perawatan karena tinggal bersama anak-anak sudah terlalu sulit baginya. Sejak saat itu, kesehatannya terus menurun meskipun awalnya tidak ada yang mengira bahwa akhir hayatnya akan datang begitu cepat. Setiap hari, demamnya semakin parah hingga pada Jumat, 10 Januari 1913, kondisinya memburuk secara drastis. Setelah menerima ekaristi, Bruder menerima Sakramen Kudus terakhir. Kabar itu tidak mengusiknya—dengan penuh ketulusan, ia memperbarui janji religiusnya dan menerima Sakramen Mahakudus dengan kesadaran penuh.

Tak lama setelah itu, ia tertidur, sementara demamnya terus meningkat. Pada pukul setengah dua malam, Pastor Hoeberechts merasa perlu untuk memulai doa bagi orang yang sekarat. Napas Bruder yang berat akibat demam yang mencapai puncaknya perlahan menjadi lebih ringan, hingga akhirnya, dengan tenang dan penuh kelembutan, ia mengembalikan jiwanya kepada Sang Pencipta. Saat itu, tanggal 11 Januari 1913, sebuah hari yang didedikasikan untuk Maria, sosok yang selalu dicintai dan dihormati dengan penuh kepasrahan.

Riwayat Penugasan selama di Indonesia :

Rumah tangga Larantuka (Tengah, Wureh, Solor, Lomblen) Flores 1884-1900
Educatio Larantuka (Tengah, Wureh, Solor, Lomblen) Flores 1900-1902
Rumah tangga Larantuka (Tengah, Wureh, Solor, Lomblen) Flores 1902-1905
Educatio Larantuka (Tengah, Wureh, Solor, Lomblen) Flores 1905-1912
Rumah tangga Larantuka (Tengah, Wureh, Solor, Lomblen) Flores 1912-1913