Museum opens only by Appointment.

62 024 831 5004

Pada 26 Desember 1902, Bruder Joannes Aloysius van den Biggelaar berpulang di Larantuka dalam usia hampir 67 tahun. Ia telah mengabdikan dirinya selama 50 tahun dalam Serikat Yesus dan lebih dari 30 tahun sebagai misionaris di Hindia Belanda. Sebagai pekerja yang setia dan penuh dedikasi dalam misi, ia berhak dikenang dengan penuh rasa syukur.

Lahir dari keluarga sederhana tetapi religius di Ravenstein pada 26 Januari 1836, Bruder van den Biggelaar sudah menunjukkan kesungguhan sejak kecil. Dengan keceriaan dan kecerdasannya, ia menarik banyak orang kepadanya, tetapi di balik itu semua, ia memiliki pemahaman yang mendalam tentang kehidupan. Pada usia 17 tahun, ia memulai novisiatnya pada 28 April 1853. Selama lima belas tahun bekerja di berbagai tempat, akhirnya ia ditugaskan oleh para atasannya pada tahun 1872 untuk bergabung dengan Pater Ten Brink dan Pater Henricus Verbraak dalam misi ke Hindia Belanda.

Pada 28 Oktober 1873, ia bersama Pater Ten Brink menginjakkan kaki di Larantuka, Flores. Saat itu, kondisi di sana masih sangat primitif dan belum tertata. Kemiskinan dan keterbatasan menjadi tantangan sehari-hari, tetapi Bruder van den Biggelaar tetap dengan penuh semangat bekerja demi kesejahteraan baik jasmani maupun rohani misi tersebut. Segera setelahnya, ia membantu Pater Ten Brink dalam mendirikan bangunan penting di Maumere, seperti gereja, sekolah, dan rumah tinggal. Pekerjaan ini dilakukan dari pagi hingga sore dengan tenaga yang minim dan belum terlatih. Ada semacam “persaingan suci” antara Pater Ten Brink yang penuh semangat dan Bruder van den Biggelaar yang tak kenal lelah. Namun, kondisi fisik yang lebih lemah dari Pater Ten Brink memaksanya untuk pergi ke Jawa guna memulihkan diri, sementara Bruder van den Biggelaar harus menghadapi penyakit yang terus menyertainya hingga akhir hayat.

Pada November 1875, ia kembali ke Larantuka dan mulai bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak sekolah. Dedikasinya luar biasa—ia bahkan ikut pergi ke hutan bersama mereka untuk mengumpulkan kayu bakar dan selalu berada di barisan depan dalam segala pekerjaan tanpa mengenal lelah.

Seiring waktu, penyakitnya semakin mengganggu aktivitasnya, hingga ia harus beristirahat selama berminggu-minggu. Namun, semangatnya tetap membara. Setelah sempat mendapatkan perawatan di Jawa pada akhir 1894 dan awal 1895, kesehatannya sedikit membaik, tetapi ia tidak pernah benar-benar pulih. Sekembalinya ke Larantuka, ia disambut dengan penuh kasih oleh anak-anak yang telah menganggapnya sebagai figur ayah.

Pada tahun-tahun terakhirnya, ia tetap aktif, merawat teman-temannya, membantu penduduk desa, serta mendekorasi Rumah Sedekah. Ketika kesehatannya semakin menurun, ia mengajukan permohonan untuk mengajar katekismus di sebuah kampung sekitar tiga perempat jam dari Posto, tetapi kesehatannya tidak lagi memungkinkan.

Pada 23 Oktober, ia menerima sakramen terakhir. Sempat terlihat adanya perbaikan pada awal November, sehingga ia bisa mengikuti retret bagi para frater, tetapi ia sendiri tampaknya telah mempersiapkan diri untuk akhir hidupnya. Pemulihannya kembali menurun, dan pada 13 Desember, Sakramen Mahakudus diberikan kepadanya sekali lagi. Sejak saat itu, kekuatannya semakin berkurang, hingga akhirnya kehidupannya perlahan-lahan memudar.

Pada sore hari Natal, ia mengalami serangan sesak napas yang semakin parah. Ia duduk di kursi istirahatnya di luar ruangan, dikelilingi oleh anak-anak sekolah dan para pekerja. Dalam suasana khidmat, ia menerima lilin suci, salib, dan topi mawar di tangannya, diberikan Absolusi Kudus dan berkat meriah. Dengan penuh ketenangan, diiringi doa-doa yang mengiringinya, ia menyerahkan jiwanya kepada Tuhan. Saat itu lebih dari pukul empat di hari Natal.