Pada 21 Agustus 1899, misi Larantuka kehilangan seorang misionaris yang semangat dan pengabdiannya telah membawa dampak besar dalam penyebaran dan kemajuan iman Katolik. Dedikasinya tidak hanya memengaruhi kekaisaran Larantuka, tetapi juga menjangkau seluruh wilayah Flores dan Timor, meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah misi.
Pada 24 Agustus 1872, Pater Cornelius Henricus Antonius Ten Brink berangkat bersama Pater Verbraak, Bruder van den Biggelaar, serta para suster yang dipimpin oleh Pastor J. B. Palinckx. Setelah beberapa bulan beristirahat, Pastor Palinckx akhirnya kembali ke misinya dengan layak, menerima perjalanan menuju Hindia Belanda. Setibanya di Batavia, rombongan kecil ini berpisah: Pater Palinckx menuju bekas markasnya di Yogyakarta, Pater Verbraak pergi ke Aceh, sementara Pater Ten Brink dan Bruder van den Biggelaar melanjutkan perjalanan mereka ke Larantuka, Flores. Di sana, mereka mencurahkan seluruh energi dan dedikasi untuk melakukan karya misi, membantu konversi penduduk asli.
Mereka tiba di Larantuka pada 28 Oktober 1872, di mana mereka bertemu dengan Pater Metz, Pater Omtzigt, Dijckmann, dan Bruder de Ruiter. Sejak awal, Pater Ten Brink menunjukkan ketekunan luar biasa. Ia tidak menyia-nyiakan waktu—ketika tidak berada di jalan untuk menjelajahi medan atau berinteraksi dengan penduduk asli guna mempelajari adat istiadat dan bahasa mereka, ia tanpa lelah menulis. Upayanya ini dilakukan agar ia dapat menguasai bahasa Melayu dalam waktu sesingkat mungkin.
Hingga saat itu, Sikka dan Maumere masih terhubung erat dengan Larantuka, sehingga kunjungan dari Larantuka menjadi hal yang biasa. Namun, pada Mei 1874, Pemerintah memutuskan untuk mengangkat wilayah Flores Tengah dengan pusatnya di Maumere sebagai stasi independen. Pater Cornelius Omtzigt pun ditunjuk sebagai pastor pertama di sana. Sayangnya, saat menerima pengangkatannya, kondisi kesehatannya telah sangat memburuk sehingga ia tidak dapat pergi ke Maumere. Sebagai gantinya, ia dikirim ke Surabaya, dan pada 4 Juli 1874, ia berpulang dalam damai.
Sebagai pengganti, Pater Ten Brink ditunjuk untuk menggembalakan stasi yang baru didirikan. Dengan penuh semangat, ia melangkah menuju tugas barunya, menyadari bahwa masih banyak pekerjaan yang dapat dilakukan demi kemuliaan Tuhan.
Setelah beberapa waktu, kesehatan Pater Ten Brink mulai melemah akibat pekerjaan yang terus-menerus dan begitu berat. Kondisinya semakin memburuk, membuat Pater Metz menginstruksikan Bruder agar bekerja dengan sungguh-sungguh guna meyakinkan Pater Ten Brink untuk pergi ke Larantuka demi memulihkan kesehatannya.
Ketika Bruder tiba di Maumere, suasana kembali dipenuhi semangat baru. Namun, Pater Ten Brink justru seolah menuntut kekuatan yang hampir mustahil. Awalnya, ia mengabaikan nasihat untuk beristirahat, terus berusaha menjalankan tugasnya. Namun, seiring waktu, ia mulai menyadari pentingnya pemulihan dan akhirnya mengusulkan untuk berjalan kaki dari Maumere ke Larantuka.
Ia membeli perahu dan berlayar menuju Larantuka. Di sana, ia bertemu dengan Pater van Rijckevorsel, yang telah ditugaskan sebagai rekannya. Saat itu, Pater van Rijckevorsel menetap di Larantuka untuk terlebih dahulu membiasakan diri dengan bahasa Melayu, yang nantinya akan membantunya saat beradaptasi di Sikka dengan bahasa Sikka atau Manggarai. Hal ini penting karena banyak penduduk, terutama di Maumere, juga memahami bahasa Melayu.
Namun, kesehatan Pater Ten Brink semakin memburuk, dan tinggal di Larantuka tampaknya tidak cukup untuk memulihkannya. Ia akhirnya pergi ke Kupang, dan atas saran dokter, melanjutkan perjalanan ke Jawa untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Setelah masa pemulihan, ia kembali ke Larantuka pada Oktober 1875. Sebulan kemudian, pada November, ia bersama rekannya memulai perjalanan kembali ke Maumere.
Kerja keras yang tiada henti, begadang malam, serta tekanan yang berlebihan kembali memaksa Pater Ten Brink untuk meninggalkan Maumere guna mencari perawatan di Larantuka, dan dari sana melanjutkan perjalanan menuju dokter di Timor-Kupang. Mengingat ketidakhadirannya yang cukup lama dan tidak adanya pengganti yang dapat mengambil alih tugasnya, ia merasa perlu meminta salah satu Bruder dari Larantuka untuk memastikan agar segala sesuatu tetap berjalan dengan baik di Maumere.
Kini, dengan kehadiran Pastor Kraayvanger dan Bruder van der Velden yang memperkuat tim di Larantuka, Pater Ten Brink merasa lebih yakin bahwa Maumere akan tetap terurus. Dengan pertimbangan tersebut, Bruder de Ruiter dikirim ke Maumere pada Mei 1876 untuk mengawasi segala urusan di sana. Beberapa bulan kemudian, Pater Ten Brink menyusulnya untuk kembali melanjutkan pelayanannya.
Pater Ten Brink menjalankan misi ke Sikka dan desa-desa di sekitarnya, bahkan hingga mencapai Paga—sebuah kerajaan Kristen kecil yang terletak di pantai selatan Flores, lebih jauh ke barat dibandingkan Sikka. Di setiap tempat yang ia singgahi, ia berupaya membaptis sebanyak mungkin anak-anak, membawa mereka ke dalam iman yang baru.
Tak lama setelah misinya, ia kembali ke Maumere. Bersama Bruder van der Velden, mereka menikmati kemakmuran yang relatif, sementara Pater Ten Brink semakin terbiasa dengan bahasa Sikka. Ia pun mulai memberikan pelajaran Katekismus secara rutin, baik pada hari Minggu maupun di hari-hari lainnya.
Meskipun terus-menerus disibukkan oleh tugas dan pelayanan, Pater Ten Brink mulai mengalami batuk dan demam yang semakin mengganggu kesehatannya, hingga kami pun berpikir bahwa ajalnya mungkin sudah dekat.
Pada awal tahun 1879, ia menjalankan misi ke Sikka, di mana ia mengalami luka di kakinya. Kondisi ini membuatnya hanya mampu memimpin Misa Minggu dan memaksanya untuk tetap tinggal di Sikka, karena kembali ke Maumere tidak memungkinkan. Selama hampir dua bulan di sana, ia menjalani pemulihan dengan kondisi sederhana, tanpa tempat istirahat selain bangku bambu asli.
Setelah kembali dari Sikka, segera diputuskan bahwa langkah penyembuhan harus dilakukan untuk mengobati lukanya.
Karena kesehatannya semakin memburuk, Pater Ten Brink akhirnya menerima tawaran untuk beristirahat dan menjalani pemulihan di Jawa. Pada 29 September 1884, ia berangkat menuju Kupang, di mana dokter secara resmi memberinya surat cuti selama tiga bulan untuk menjalani perawatan lebih lanjut di Jawa.
Pada 28 Maret 1885, Pater Ten Brink kembali dari Jawa. Sekarang, dengan semangat baru, ia memutuskan untuk melanjutkan rencananya dalam memperluas misi. Ia menetap di Larantuka dan dengan penuh dedikasi menjalankan tugasnya hingga akhirnya berpulang pada 21 Agustus 1890.
Riwayat Penugasan selama di Indonesia :
Karya | Lokasi | Tahun |
---|---|---|
Pastor Paroki Larantuka (Tengah, Wureh, Solor, Lomblen) | Flores | 1872-1874 |
Pastor Paroki Maumere (Kotting, Lela, Nita) | Flores | 1874-1880 |
Pastor Paroki Larantuka (Tengah, Wureh, Solor, Lomblen) | Flores | 1881-1890 |